The Center for International Forestry Research (CIFOR and World Agroforestry (ICRAF) joined forces in 2019, leveraging a combined 65 years’ experience in research on the role of forests and trees in solving critical global challenges.
Saat Gayung Bersambut Antara Bogor-Mataram
Rapat Diseminasi Hasil Kegiatan Penelitian Kanoppi 2
Setelah genap lima tahun berkiprah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, tim penelitian Kanoppi 2 memaparkan hasil pembelajaran dan penelitian pada pihak terkait di jajaran pemerintah daerah provinsi pada 25 Juni 2021 dalam pertemuan diseminasi secara luring di Mataram dan daring dari Bogor, Jawa Barat.
Aulia Perdana, dari ICRAF yang memimpin aktivitas penelitian Kanoppi 2, mengatakan bahwa diseminasi ini merupakan bagian dari rangkaian panjang kegiatan Kanoppi 2, yang merupakan kelanjutan dari fase paket penelitian sebelumnya yang berlangsung pada 2013-2017 dan tahun 2017-2021 untuk fase kedua. Fase ini akan berakhir pada bulan Desember.
Sama halnya dengan fase sebelumnya, Kanoppi 2 mendapat dukungan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) melalui Pusat Penelitian Pertanian International (ACIAR). Dan turut bergabung sebagai mitra dalam penelitian ini adalah Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, CIFOR, WWF Indonesia, Threads of Lifeve, dan Murdoch University serta Universitas Negeri Mataram.
Selain di NTB (di Kabupaten Sumbawa dan Lombok Tengah), Kanoppi 2 juga melaksanakan penelitian di DIY (Gunungkidul) dan Nusa Tenggara Timur (Timor Tengah Selatan dan Ngada).
Program penelitian Kanoppi 2, yang berakhir Desember 2021, disusun berdasarkan keberhasilan fase sebelumnya, yang mencakup aspek budidaya komoditas, pemasaran, strategi penyuluhan dan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong partisipasi aktif dan kemandirian dalam berusaha bagi kelompok masyarakat pengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kabupaten Sumbawa, khususnya di Desa Batudulang dan Desa Pelat.
Aulia menambahkan pemaparan hasil penelitian juga akan diikuti dengan perumusan bersama mengenai bentuk-bentuk dukungan kebijakan dan rekomendasi untuk memayungi kelompok masyarakat HHBH.
“Kami harap akan ada peluang dan pengetahuan di sisi produksi, penyuluhan, dan kebijakan serta kegiatan-kegiatan yang bisa dilanjutkan sendiri oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa mandiri di desa masing-masing,” jelas Aulia.
“Mari kita upayakan agar usaha ini bisa berkelanjutan,” katanya.
Dalam sambutannya Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB Ir. Madani Mukarom, BScF. MSi mengatakan “Kanoppi 2 sangat berkesesuaian dengan program prioritas kami.”
“Empat kegiatan Kanoppi 2, yaitu budidaya yang sangat berkaitan dengan ilmu kehutanan dan pengembangan komoditas, lalu pemasaran dan bisnis yang sangat terkait dengan prioritas Pak Gubernur saat ini yang menekankan industrialisasi, lalu penyuluhan yang memberi edukasi pada masyarakat di sekitar hutan dan yang terakhir adalah kebijakan,” lanjutnya.
Menurut Madani, program Kanoppi 1 telah berhasil mendukung pemerintah daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah mengenai pengelolaan hutan. “Kami memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki panduan. Istilahnya seperti berlari sambil memakai baju,”
“Sekarang kami sudah memiliki regulasi untuk pengelolaan hutan dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 14 tahun 2019,” ungkap Mardani yang berharap hubungan kerja sama pemerintah daerah dengan Kanoppi tidak berhenti walaupun program berakhir pada Desember 2021.
Perda No 14/2019 yang diundangkan dan berlaku medio Desember 2019 menjadi pedoman pemangku kebijakan untuk menjalankan pengelolaan hutan yang berkelanjutan berdasarkan asas manfaat, partisipatif, kolaboratif, terpadu, keterbukaan, dan pengakuan atas kearifan lokal.
Membongkar Potensi
Syafruddin Syafii, koordinator penelitian dari WWF, menambahkan secara khusus penelitian Kanoppi bekerja sama dengan Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Batulanteh serta pemerintah desa di Kabupaten Sumbawa melalui kegiatan riset untuk tujuan mendukung pengelolaan sumber daya alam dan hutan berbasis bentang alam di Kabupaten Sumbawa.
Kanoppi juga melihat potensi dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Desa Batudulang; pengembangan sentra madu trigona di Desa Pelat dan penguatan kelembagaan Forum Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM).
Kelompok masyarakat yang didampingi oleh BKPH dan tim penelitian Kanoppi juga telah memasarkan produk olahan HHBK seperti madu hutan, madu trigona dan olahan kerajinan ketak.
“Sudah ada perubahan paradigma. Ketak itu, misalnya, dulu dianggap gulma, sekarang menjadi komoditi untuk bahan mentah produksi kerajinan. Dulu ternyata harus import dari Kalimantan padahal kebutuhan di sini banyak,” kata Dr. Ani Adiwinata Nawir dari CIFOR yang menggawangi aspek kebijakan.
“Pelatihan-pelatihan kelompok perempuan pengrajin masih perlu diteruskan, potensi ini cukup banyak di KPH lain sehingga perlu juga model yang tepat untuk menampung dan mengolahnya dengan harapan bisa menjadi model di desa lain.”
I Wayan Widhiana Susila dari Litbang HHBK menambahkan sebenarnya pengrajin di Lombok sudah memakai ketak sebagai bahan mentah untuk produksi kerajinan. Kebutuhan cukup tinggi sehingga harus didatangkan dari luar NTB sedangkan Sumbawa memiliki potensi yang besar untuk menyuplai kebutuhan tersebut.
Ada ratusan rumpun ketak di lahan petani yang tumbuh di bawah tegakan kemiri di Desa Batudulang dan Sampar Anong. “Pertumbuhan rumpun anakan rumput ketak lebih baik jika berada di bawah naungan tegakan kemiri yang dipelihara oleh petani daripada yang cuma dibiarkan saja.”
Komoditas potensial lain adalah sengon, yang sedang naik daun karena permintaan pasar yang tinggi. Di Lombok Tengah, Kanoppi mengenalkan pola agroforestri pada masyarakat pengelola hutan rakyat, para penanam sengon. Dengan memadukan tanaman kayu ini dengan komoditas lain, seperti empon-empon, vanili, dan rumput gajah, masyarakat bisa mendapatkan tambahan pemasukan.
“Tanaman sengon paling diminati sekarang karena cepat tumbuh, adaptif pada lingkungan dan pasarnya potensial. Apalagi di Lombok Tengah ada pabrik pengolahan kayu dengan kebutuhan bahan mentah yang tinggi sehingga masyarakat berlomba-lomba menanam sengon,” kata Ryke Nandini, peneliti dari Litbang HHBK.
“Sayangnya pengelolaan masih subsistent, artinya tidak ada pemeliharaan secara khusus, cenderung dibiarkan setelah ditanam dan dipanen ketika membutuhkan.”
Menggali Peluang
Riset Kanoppi 2 bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat sejak dari awal hingga proses budidaya, kata Ryke.
Di Dusun Repok Pidendang, misalnya, masyarakat menyampaikan bahwa mereka berminat pada tiga jenis tanaman, yaitu jahe, talas, dan vanili. Ternyata kombinasi terbaik adalah sengon dengan jahe dan talas. Untuk jahe saja petani bisa mendapatkan tambahan Rp 1.7 juta per hektare per panen dan komoditas ini bisa panen tiap dua bulan sekali.
Menurut Ryke hasil penelitian ini perlu disosialisasikan lebih luas sehingga akan ada plot adopsi, masyarakat meniru apa yang sudah dilakukan. Selain budidaya berbasis agroforestri tersebut, masyarakat juga sangat membutuhkan pelatihan kewirausahaan supaya mereka bisa mendapat nilai lebih dari komoditi yang mereka kelola.
Strategi penyuluhan berbasis kemitraan yang menautkan hulu dan hilir; dari produksi, pengolahan, hingga ke pasar merupakan model yang ideal. Salah satu contoh yang sudah menunjukkan adanya peningkatan pemasukan adalah kelompok petani perempuan Batudulang yang mengelola komoditas kemiri di Desa Batudulang.
Sebelum tim peneliti dari Universitas Mataram masuk pada 2019 dan bekerja sama dengan kelompok petani kemiri, petani menjual hasil produksinya secara glondongan atau langsung dijual tanpa proses paska produksi dijadikan kemiri kupas dan minyak kemiri.
Tim peneliti Universitas Mataram, dipimpin oleh Prof Muktasam, secara khusus melakukan riset dalam pemasaran komoditi yang dihasilkan petani pengelola hutan rakyat.
Dalam pemaparannya Endri Martini dari ICRAF yang bertanggungjawab untuk aspek penyuluhan menjelaskan,”Kemiri menarik perhatian kami karena potensinya ada tetapi belum terkelola dengan baik. Kemiri juga memiliki jasa lingkungan yang cukup besar jika ditanam di daerah hulu untuk mencegah banjir.”
Selama ini, menurut Endri, selain tidak ada tautan dengan aktor-aktor selain penyuluh dan petani, penyuluhan juga terkendala dengan perubahan kebijakan dari sisi kelembagaan.
Penyuluhan lebih banyak untuk kayu sementara HHBK belum mendapat porsi yang cukup. Kanoppi 2 menawarkan beberapa model diseminasi di tingkat petani dan pemasaran.
“Perlu dukungan banyak pihak untuk model penyuluhan berbasis kemitraan dan tidak bisa diharapkan hanya dari pemerintah,” katanya.
Kemitraan ini mencakup ToT, pengembangan pusat edukasi di tingkat desa atau kecamatan, yang juga menjadi pusat akses pasar, lalu kerja sama dengan pelaku pasar sehingga petani dapat terhubung dengan pasar yang tepat. Selain itu informasi mengenai teknologi budidaya akan sangat membantu petani memenuhi kualitas yang diinginkan pasar.
Direktur Lembaga Studi Partisipasi, Ekonomi dan Demokrasi Mitra Samya Huznuzzonni yang hadir dan menjadi fasilitator pertemuan itu mengatakan,”Ini gayung sudah bersambut. Ada potensi-potensi yang sudah dikemukakan dan untuk diteliti lebih lanjut. Ada HHBK yang bisa dikembangkan menuju tingkat industrialisasi, seperti harapan pemerintah provinsi.”
Mitra Samya adalah mitra lokal WWF Indonesia yang terlibat di Kanoppi 2 dalam aspek koordinasi, terutama dengan pemangku kepentingan dalam pengembangan rekomendasi, peta jalan dan kesepakatan bersama.
“Payung hukum sudah ada, tinggal ditentukan komoditi yang cocok dan bagaimana diadopsi lebih luas oleh masyarakat.”
Related News
Nairobi, 26 January 2023 – Climate change is making it harder to grow enough nutritious food, but a unique programme is training African scientists in harnessing a cutting-edge…
Peat Education, why is it Important? The peat ecosystem in the Kubu Raya Regency is a natural resource that plays an important role in people's livelihoods. Unfortunately, peat ecosystems are…