The Center for International Forestry Research (CIFOR and World Agroforestry (ICRAF) joined forces in 2019, leveraging a combined 65 years’ experience in research on the role of forests and trees in solving critical global challenges.
Menggarap lahan pertanian di bentang lahan berkontur terjal menjadi tantangan tersendiri bagi petani. Di Desa Kayu Loe, Bantaeng misalnya, selain rawan terkena erosi dan longsor, lahan miring juga banyak yang tidak bisa ditanami lagi. Ini disebabkan penanaman jagung yang secara terus-menerus sehingga kesuburan tanah pun hilang.
Hal serupa terjadi di beberapa desa binaan AgFor di Kabupaten Jeneponto, Gowa, dan Boalemo. Melihat kondisi tersebut, AgFor Sulawesi berinisiatif mengundang Dr Jun Mercado, peneliti senior dari World Agroforestry Centre (ICRAF) Filipina untuk berbagi pengetahuan tentang teknik pengelolaan lahan miring.
Dr Jun Mercado telah berpuluh tahun berkecimpung dalam penelitian perawatan lahan. Di Claveria, Mindanao, Filipina, ia mendalami teknik Teras Vegetatif Alami (TVA), sebuah metode yang membantu memperkokoh lereng terjal di lahan pertanian dengan membentuk garis kontur. Garis kontur berupa teras atau pematang ini ditanami dengan rumput serta tumbuhan alami, dan mencegah tanah terbawa erosi ketika hujan deras atau saat ditanami secara intensif. Setelahnya, pematang dapat ditanami dengan jenis tanaman yang bernilai tinggi bagi petani.
Pelatihan diadakan di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Kegiatan sengaja menyasar kedua provinsi tersebut dan bukan Sulawesi Tenggara, karena bentang lahan di Sulawesi Tenggara yang cenderung lebih datar dibanding Sulawesi Selatan dan Gorontalo. “Selain itu, di kedua daerah tersebut (Sulsel dan Gorontalo) banyak budi daya jagung yang dilakukan secara intensif yang mengakibatkan erosi, degradasi lahan, dan sedimentasi pada sumber air,” kata James M. Roshetko, Senior Project Leader AgFor. “Penggunaan metode TVA diharapkan dapat menanggulangi dampak negatif tersebut,” katanya.
Pelatihan berlangsung bulan Januari 2015, dan dihadiri oleh kelompok tani, penyuluh, juga perwakilan dari pemerintah daerah. Pelatihan diawali dengan pemaparan materi oleh Dr Jun Mercado, diikuti diskusi dengan peserta, dan praktik di kebun anggota kelompok tani yang terletak di lereng.
Dalam pelatihan di kebun, peserta dibagi dalam kelompok untuk mempraktikkan pembuatan ‘Bingkai A’. Bingkai A adalah alat utama yang digunakan dalam teknik TVA dan dibuat dari kayu atau bambu, benang, dan pemberat (bisa menggunakan batu). Setelah dirangkai, bingkai A dikalibrasi dan digunakan untuk membuat garis kontur berupa teras selebar 50 cm pada lahan miring. Garis kontur ini lalu diberi jarak 6–10 meter tergantung dari tingkat kecuraman lahan.
Lahan dan teras dapat ditanami berbagai macam tanaman buah, kayu, dan pangan. Misalnya padu padan jati putih dan jagung, atau pohon kayu, pisang, dan rumput pakan ternak. Setelah 2-3 tahun, TVA pun akan terbentuk.
Berdasarkan penelitian, penerapan TVA dapat mengendalikan erosi hingga 90%. Berkurangnya erosi akan memperbaiki kualitas air di daerah hilir karena berkurangnya sedimentasi. Metode TVA juga berbiaya rendah dan sederhana, sehingga tidak memberatkan petani. Selain itu, ketika berbagai macam jenis tanaman dikembangkan di lahan, maka produktivitas dan keanekaragaman hayati pun akan meningkat.
Husein Etango, Asisten 2 Bupati Boalemo menyambut baik pelaksanaan pelatihan TVA. Ia menilai TVA sesuai dengan kondisi daerahnya yang banyak berkontur terjal. Menurutnya TVA juga dapat membantu meningkatkan produktivitas lahan, dan menjadi alternatif teknik pengelolaan lahan miring selain teras batu yang seringkali tidak terjangkau petani.
Pelatihan TVA di masing-masing daerah ditindaklanjuti dengan loka karya untuk merencanakan penerapan TVA di kebun petani. Di Boalemo, kelompok tani telah bersepakat untuk mempraktikkan TVA di lahan salah satu petani binaan, Ibu Hajara. “Kita akan pantau perkembangannya, dan setelahnya kita akan dorong kelompok lain yang juga bercocok tanam di lereng, untuk menerapkan teknik TVA,” kata Duman Wau, Koordinator AgFor untuk Gorontalo.
Related News
Nairobi, 26 January 2023 – Climate change is making it harder to grow enough nutritious food, but a unique programme is training African scientists in harnessing a cutting-edge…
Peat Education, why is it Important? The peat ecosystem in the Kubu Raya Regency is a natural resource that plays an important role in people's livelihoods. Unfortunately, peat ecosystems are…